Written by E. Ari Astuti
Saat akan naik bus di Singapura, seorang
turis Indonesia bertanya pada sopir berapa ia harus bayar. Ia pun
berpikir, hal ini sama seperti di beberapa bus di Jakarta yang harus
bayar dulu sebelum berangkat. Setelah duduk, ia melihat para penumpang
lain tidak membayar cash seperti dirinya tapi melewatkan sesuatu pada
suatu alat scan. Ada yang menyentuhkan dompet, handphone, jam tangannya
bahkan tas yang dibawanya. Begitu pula saat turun, setelah penumpang
memencet bel mereka melakukan hal yang sama pada alat tersebut di pintu
keluar. Karena
ragu-ragu, ia pun bertanya pada seorang penumpang, “Yang di-scan itu apa
ya? Apa saya juga harus melakukannya juga?” Yang ditanya menjawab,
“Anda naik bus bayar cash?” Ya,” jawab sang turis. “Kalau begitu anda
tidak harus men-scan sesuatu di situ,”jelas yang ditanya. Sang turis pun bertanya lagi, ”Jadi apa yang di-scan
di situ?” Lantas penumpang tersebut pun memperlihatkan semacam sticker
transparan yang tertempel di dompetnya. Sang turis pun mengangguk,
walaupun tidak tahu apa sebenarnya itu.
Fenomena di atas mungkin cukup asing bagi masyarakat Indonesia.
Dan hal tersebut memang masih sangat jarang, karena pelaku pasar di
Indonesia pun sampai saat ini belum melakukan commercial launch bagi produk serupa. Produk tersebut merupakan salah satu bentuk dari e-money.
Beberapa waktu lalu Bank Indonesia (BI) menyebutkan bahwa BI sudah
memberikan izin bagi beberapa perusahaan untuk menerbitkan kartu
prabayar sebagai salah satu alat pembayaran atau yang disebut e-money.
Lantas, apakah sebenarnya e-money itu?
E-money ? Kartu Debet
E-money adalah suatu alat pembayaran elek-tronik dimana nilai uang itu
tersimpan dalam media elektronik tersebut. Menurut Dyah N.K. Makhijani,
Direktur Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran Bank Indonesia,
e-money merupakan salah satu alternatif pembayaran yang bentuknya bisa
bermacam-macam. Selama ini e-money yang berkembang di masyarakat masih
dalam bentuk chip yang ditanam dalam sebuah kartu ataupun stiker. Bentuk
lainnya bisa berupa server based atau virtual based.
Lebih lanjut, Dyah menambahkan dalam imple-mentasinya, e-money ini agak
tersamar menjadi kartu debet. Kartu debet memang bentuknya kartu dan based-nya simpanan dengan transaksi yang dilakukan secara online. Sedangkan tran-saksi menggunakan e-money bisa dilakukan se-cara offline, dan nilai saldonya terkurangi setiap kali bertransaksi.
Hanya saja, perbedaannya adalah setiap kali transaksi dengan kartu
debet, pasti akan membutuhkan koneksi online untuk otorisasi ke
penerbit, bank dalam hal ini. Setiap kali transaksi, simpanan di bank
akan berkurang. Sedangkan e-money, setiap kali transaksi, simpanan dalam
e-money tersebut memang berkurang saat itu juga, namun data pada pihak
penerbit belum tentu berkurang saat itu juga. “Data di penerbit akan
berkurang pada saat merchant tersebut klaim atas transaksi yang telah
dilakukan. Baru setelah itu data antara penerbit dan e-money yang
dimiliki seseorang menjadi sama,” ujar Dyah.
Model Chip Based dan Server Based
Pembayaran dengan e-money ini masih tahap awal. Dyah menuturkan, model yang akan berkembang ke depan ada dua bentuk yaitu chip based dan server based. Untuk chip based,
ukuran chip yang kecil memungkinkan chip tersebut disimpan dalam kartu,
sehingga mungkin tidak akan terlihat perbedaannya dengan kartu debet
atau kartu kredit. Ketika chip tersebut dalam bentuk stiker maka ini
bisa di tempel dimana saja, bisa di handphone, jam tangan, dompet, tas
dan lain-lain. Model yang itu yang bisa dilakukan secara offline karena
nominal uangnya tertanam dalam chip tersebut. Saat transaksi terjadi,
sejumlah uang akan berkurang dan berpindah ke terminal merchant yang
dilengkapi dengan teknologi radio.
Untuk model server based, sejumlah uang dikelola oleh server penerbit. Model ini biasanya dikem-bangkan oleh Telco Provoder. Telco provider
ini mempunyai server yang mengelola account e-money, seperti pulsa.
Jika telco provider mengembangkan e-money, maka ia akan membuat satu
account lagi yang terpisah dengan account pulsa yang berguna untuk payment. Jadi
bisa ditanam dalam satu media. “Kita bisa cek saldo pulsa dan saldo
e-money. Bila pulsa habis kita bisa mindahin saldo e-money ke pulsa tapi
tidak bisa sebaliknya,” papar Dyah.
Jika disatukan dalam
handphone, triggernya bisa melalui SMS. Jadi pelanggan tersebut dikasih
user ID atau password. Dyah mencontohkan misalkan kita belanja di salah
satu konter yang sudah bekerja sama dengan telco provider untuk payment.
Saat berbelanja dan akan membayar dengan e-money, ada kode yang harus
di kirim ke telco provider. Nah, dari situ kita disuruh memasukkan user
ID dan password, selanjutnya pihak provider akan bertanya benarkah anda
akan membayar sekian pada konter tersebut, kalau ya tinggal pencet OK.
Model virtual account ini juga bisa digunakan untuk internet.
Contohnya i-VAS Telkom yang account based dan berfungsi untuk pembayaran
di internet. Di sini pengguna memiliki user ID dan password untuk bayar
penggunaan internet.
Selain Telkom, provider lain yang
mengembangkan e-money ini adalah Telkomsel. Menurut Manajer Mobile
Commerce Telkomsel Reyhan, Telkomsel telah mendapatkan izin untuk
menerapkan e-money sejak Maret lalu dan saat ini disebut dengan
Telkomsel Tunai. Hanya saja penggunaannya masih terbatas pada internal
karyawan Telkomsel karena masih dalam taraf pengkajian dan uji coba agar
produk ini bisa diterima dengan baik di masyarakat nantinya. Reyhan
mengatakan Telkomsel menggandeng Fuji Image Plaza untuk kerjasama produk
ini. Penggunaannya masih berbasis pada chip. “Telkomsel ingin
mendapatkan customer loyality lebih banyak lagi dari produk ini,” ungkap Reyhan.
Menurut Dyah, perusahaan lain yang juga telah diberi ijin oleh BI untuk
menerbitkan kartu prabayar e-money adalah BCA dengan flash BCA dan
digunakan oleh karyawan BCA, Bank DKI untuk pembayaran Trans Jakarta,
dan Telkom dengan produknya i-VAS yang masih terbatas pada game online
tertentu. Untuk Telkom, dilakukan pemutihan, karena Telkom terlebih
dahulu menggunakan model e-money tersebut. Dan semua penerbit tersebut
menggunakan chip based kecuali Telkom yang menggunakan server based.
Bagi perusahaan yang berminat menerbitkan kartu prabayar e-money itu,
syarat yang harus dipenuhi antara lain harus punya sertifikat dari audit
system dari security audit system yang independen dan harus berpengalaman di bidang penerbitan kartu prabayar dalam bentuk single purpose (untuk satu penggunaan saja) selama dua tahun.
Pembayaran Mikro
Gaung e-money memang baru terdengar belakangan ini. Tapi sebetulnya
pada tahun 2005, sudah ada salah satu bentuk e-money ini pada peraturan
BI tentang ketentuan alat dengan menggunakan alat penggunaan kartu
(APMK, alat pembayaran menggunakan kartu) masih sangat terbatas. Di
dalam APMK tertuang aturan mengenai kartu kredit, kartu debet, ATM dan
kartu prabayar. Nah, kartu prabayar yang merupakan bagian dari e-money
ini pun sudah diatur.
Aturan soal e-money tertuang dalam
Peraturan BI yang lahir dari Undang-Undang BI, dimana BI diberi
kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran,
termasuk e-money ini. Lantas bagaimana kaitannya dengan Rancangan
Undang-Undang Informasi dan Tranaksi Elektronik (RUU ITE)? “Terkait soal
RUU ITE, mungkin saat kita bicara soal interoperability dan keamanan. Di situ memang kita harus kerja sama dengan Kominfo,” ujar Dyah.
Perkembangan e-money ternyata sangat cepat dan luas, dan itu harus
menjadi concern BI. Karena sifat e-money itu adalah uang cash, jadi
keamanan dan perlindungan kepada masyarakat pengguna harus diperhatikan.
“Rencananya tahun depan kami akan mengeluarkan peraturan khusus tentang
e-money dengan menangkap segala perkembangan bentuk yang akan
dikembangkan oleh industri,” papar Dyah. Sebelumnya, BI hanya mengatur kartu prabayar tapi belum sampai ke virtual based.
Menurut Dyah, perkembangan e-money ini bukan BI yang men-trigger, tapi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang men-drive
pelaku pasar untuk masuk ke segmen itu. Jadi, ini adalah salah satu
alternatif dari alat pembayaran. Selama ini masyarakat sudah punya
beberapa alat pembayaran seperti kartu debet, kartu kredit, check dll.
Namun, ada satu lagi untuk pembayaran mikro yang belum tersentuh oleh
teknologi, yaitu pembayaran yang kecil-kecil seperti untuk parkir, tol
atau tiket. Pembayaran mikro ini karakteristiknya melayani banyak orang,
frekuensinya sering, sehingga membutuhkan pelayanan cepat. “Tidak
mungkin kan untuk membayar itu dengan kartu debet atau kartu kredit,”
tandas Dyah.
Dijelaskan Dyah bahwa di luar negeri sudah ada
produk semacam ini seperti Octopus di Hongkong, Touch and Go untuk
pembayaran tol di Malaysia dan di Singapura untuk pembayaran MRT dan
bus. “Saya lihat, marketnya lebih ke pembayaran mikro atau ritel juga
ada seperti untuk membayar makan di McD atau restoran cepat saji
lainnya,” lanjutnya. Dan untuk satu kartu prabayar e-money nominalnya dibatasi sampai satu juta rupiah.
E-money memang tidak bertujuan untuk mengganti uang kecil secara total.
Tapi begitu masyarakat sudah tertarik menggunakan e-money untuk
payment, maka mereka tidak perlu lagi membawa uang receh, cukup
menyentuhkan e-money pada sensor alatnya. Untuk tol, pelayanan tol lebih
cepat dan efisien, sehingga cash & link tol tidak terlalu mahal.
Dengan model e-money, masyarakat yang tidak punya rekening tetap bisa
bertransaksi. Dengan membeli e-money dengan sejumlah uang cash, maka
pembeli bisa membelanjakannya sebesar uang tersebut dengan mendebetnya
tiap kali transaksi di merchant tertentu atau untuk pembayaran mikro
seperti pembayaran tol, naik kereta atau parkir. Untuk pembayaran mikro,
tampaknya masyarakat akan diuntungkan karena diperoleh efisiensi waktu
pembayaran. Nah, siapapun yang akan bermain di area ini, diharapkan akan
berdampak signifikan pada efisiensi waktu, setidaknya antrean panjang
pada gerbang tol dapat terus diminimalisir.
Sumber:http://majalaheindonesiaku.com/index.php?option=com_content&view=article&id=64:e-money-inovasi-alat-pembayaran&catid=43:artikel-ti&Itemid=68